Terus terang agak sulit mengingat-ingat peristiwa yang terjadi nyaris sepuluh tahun yang lalu. Tapi aku akan mencobanya. Mengais memori dan menyusunnya kembali menjadi sebuah cerita mungkin lebih baik daripada membiarkannya hilang ditelan waktu, dan terlupakan.
Ini pengalamanku terbang melintasi Garis Batas Penanggalan Internasional – perjalanan pertamaku melintasi Pasifik ke arah timur, melawan arah matahari:
11 Agustus 2003, pukul 10:00 pagi waktu setempat.
Saya baru saja mendarat di Bandara Internasional Forth Worth, Dallas, di Taxas, titik masuk saya ke Negeri Paman Sam. Udara musim panas yang cerah dengan langit biru membuat semua tampak baik-baik saja. Suhu di luar – menurut laporan – 32 derajat Celcius, tidak jauh berbeda dengan Jakarta, tempat saya berangkat sekitar 23 jam sebelumnya. Namun di tengah kewajaran itu, ada dua perasaan istimewa yang saya rasakan:
Perasaan yang pertama, saya sadari betul, bahkan saya nikmati seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan. Ini tempat baru, negeri yang jaraknya ribuan mil dari tempat saya berasal. Meskipun bandara tidak bisa memperlihatkan kebaruan itu (karena menurut saya, semua bandara sama saja, hanya ukuran dan arsitekturnya saja yang berbeda), saya sangat menyadari dan begitu girang bahwa saya telah sampai di negara yang selama puluhan tahun menjadi impian untuk saya kunjungi. Kini saya telah menjejakkan kaki di tempat ini. Ada rasa geli dan tak percaya. Beberapa kali saya mencubit lengan sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi.
And it was not a dream!
Perasaan yang kedua agak berbeda. Antara menerima dan tak menerima. Ya, saya tahu – dan bisa menerima – ini jam 10 pagi, tanggal 11 Agustus 2003. Posisi matahari di luar sana menunjukkan itu. Tapi kesadaran saya yang lain mempertanyakannya: Bukankah saya – 23 jam sebelumnya – berangkat pada hari dan tanggal yang sama: 11 Agustus 2003?
Pesawat kami, sebuah jet jumbo Boeing 747 Japan Airlines, bahkan tinggal landas dari Jakarta tepat tengah malam hari itu. Artinya, sesaat setelah kami mengudara, hari telah berganti ke tanggal 12 Agustus. Rasanya tidak masuk akal bahwa 23 jam kemudian, saya justru telah mundur satu hari ke belakang. Seharusnya saat itu pukul 23:00 malam, tanggal 12 Agustus! Tapi ini malah tanggal 11 Agustus. Jam 10 pagi pula!
Tapi begitulah! Perjalanan melintasi Garis Batas Penanggalan Internasional membuat nama dan hitungan hari dan tanggal menjadi agak kacau di dalam kesadaran kita.
Untung saja, perjalanan itu saya nikmati dan saya rekam sepenuhnya dalam kesadaran saya, sehingga meskipun ada penolakan di benak bawah sadar saya, “bukti-bukti” yang saya kumpulkan sepanjang perjalanan membantu benak sadar saya untuk menerima dan mencerna kekacauan itu.
Sepanjang perjalanan yang tak bisa dibilang sebentar itu, saya mungkin hanya tidur beberapa jam. Seingat saya, saya masih terus terjaga hingga pesawat berada di atas Laut Cina Selatan – kira-kira pukul 03:00 pagi waktu Jakarta. Setelah itu, saya mungkin tertidur, meskipun tidak lelap (mungkin karena perasaan sangat girang yang saya rasakan), hingga pesawat mendarat di Narita sekitar pukul 09:00 pagi waktu Tokyo (pukul 07:00 pagi WIB).
Di Narita kami beristirahat beberapa jam karena kami harus ganti pesawat. Kalau tidak salah, kami layover tiga jam di sana. Pesawat American Airlines yang akan membawa kami ke Dallas tinggal landas dari Narita sekitar tengah hari. Pukul dua belas lewat sedikit.
Berbeda dengan perjalanan dari Jakarta, saya mencoba untuk tidak tidur sama sekali di bagian kedua perjalanan ini. Kali ini bukan karena perasaan girang yang menjadi penyebabnya, tapi karena rasa penasaran dan ingin tahu: Saya tahu bahwa pesawat akan melintasi Garis Batas Penanggalan Internasional. Kami akan terbang ke timur, menyeberangi Pasifik – sedikit melingkar ke atas, ke arah Kutub Utara – dan melawan arah perjalanan matahari. Dari pelajaran geografi di sekolah dulu, saya tahu, itu berarti saya akan bergerak melawan waktu. Saya sungguh-sungguh ingin mengalami dan merasakan sendiri bagaimana rasanya. Oleh karena itulah, saya berazam untuk tidak tidur barang sekejap.
Betul saja! Selang beberapa jam sejak kami mengudara, waktu bergerak sangat cepat. Saya tidak ingat persis menit dan jamnya, tapi sekira tiga atau empat jam setelah tinggal landas, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh, dan dalam enam jam kami sudah melewati tengah malam. Anehnya, kami tidak melewati pagi, karena setelah tengah malam itu, kami langsung berhadapan dengan malam, sore, siang, lalu pagi – saat pesawat akhirnya mendarat di Dallas.
Saya ingat betul, ketika waktu tiba-biba beranjak malam – selang tiga atau empat jam setelah meninggalkan Tokyo pada tengah hari – dan beberapa menit sebelum makan malam disajikan, para pramugari dan pramugara meminta penumpang untuk menutup jendela. Mungkin tujuannya adalah agar para penumpang tidak mengalami guncangan waktu (time shock?) dengan pegerakan waktu yang abnormal itu dan bisa lebih mudah mengatasi mabuk pascaterbang (jet lag) setibanya di tempat tujuan.
Uang Dolar Kami Tak Laku!
Persinggahan kami di Dallas cukup lama. Penerbangan lanjutan ke Miami – tempat tujuan akhir kami – dijadwalkan sekitar pukul dua siang. Urusan imigrasi sudah selesai sekitar pukul 11:00. Jadi ada waktu menunggu sekitar tiga jam.
Saat menunggu itu, ada kejadian yang cukup menarik untuk dicatat. Saya dan dua orang teman yang satu penerbangan dan satu tujuan merasa sudah waktunya untuk makan siang. Ada sedikit ketidaksepakatan di antara kami. Saya berpendapat, kami tidak perlu membeli makan siang di bandara, karena toh sebentar lagi kami akan naik pesawat dan – karena penerbangan dari Dallas ke Miami cukup jauh – kami pasti akan mendapat makan siang di atas pesawat. Paling tidak, roti atau kudapan lain. Kedua teman saya sebenarnya cukup setuju dengan pendapat saya. Tapi mereka juga berpendapat, tidak ada salahnya kan mengantisipasi kalau-kalau di pesawat nanti tidak disuguhi makanan atau mencoba membeli makanan di bandara.
Akhirnya saya setuju. Dalam demokrasi, dua lawan satu, tentu dua lah yang menang. Tapi alamaaak! Saat kami mencoba membeli ayam goreng di salah satu gerai makanan cepat saji, uang dolar kami tak laku!
Apa pasal?
Dari rumah, kami masing-masing membawa dolar dalam pecahan besar $100, dan pelayan di gerai itu serta-merta menolaknya. “Sorry, we don’t accept $100 bill. Only $20 or smaller change.”
What??
Waktu itu saya tidak tahu apa alasannya, dan tidak mendapat penjelasan kenapa. Tapi lama setelah itu, dipikir-pikir, mungkin ini alasannya: Kebanyakan uang palsu yang beredar adalah pecahan besar $100. Mungkin karena alasan itu mereka menolaknya. Para pelayan itu tentu tidak mau menerima risiko harus mengganti uang $100 palsu yang mungkin dipakai oleh pembeli. Mungkin.
Tapi di Indonesia kan beda? Kita tidak suka menerima/menyimpan/menukarkan rupiah kita dengan mata uang asing dalam pecahan kecil karena nilai tukar mata uang asing pecahan kecil dihargai jauh lebih rendah. Semakin tinggi nominalnya, semakin baik nilai tukarnya.
Nah, barangkali ini pelajaran penting untuk orang yang mau berangkat ke luar negeri. Bersiap-siaplah membawa mata uang negara tujuan dengan nominal kecil karena akan lebih mudah dibelanjakan.
Sampai di sini dulu cerita bagian pertama ini. Nanti saya lanjutkan lagi di bagian selanjutnya.
Wow…terimakasih cerita dan tipsnya pak. Let me try this year. amin 🙂
Secara teori saya bisa ngerti, pak. Tapi saya beneran pengen mengalaminya sendiri. 😀
sungguh seru…
pengalaman melintasi waktu yang asik 🙂
Keren pengalamannya. Serasa ikut perjalanan. Nampaknya kekacauan waktu ini bisa jadi ide mesin waktu. Haha.