‘Fear Mongering’


Mungkin istilah “fear mongering” belum cukup dikenal di Indonesia. Oleh karena itu banyak awam yang tidak sadar akan kehadirannya yang sangat kental dalam kampanye pemilihan presiden saat ini. Banyak orang, tanpa sadar, termakan dan terbawa arus scare tactics itu.

Fear mongering adalah taktik kampanye yang menggunakan rasa takut (fear) untuk memengaruhi opini atau tindakan publik. Padanannya yang paling tepat dalam Bahasa Indonesia barangkali adalah taktik menakut-nakuti.

Taktik itu lazim digunakan bukan hanya dalam kampanye politik, namun juga dalam iklan produk atau jasa. Contoh yang paling jelas yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah iklan sabun kesehatan. Iklan sabun seperti itu biasanya dimulai dengan menakut-nakuti orang akan bahaya kuman yang mengancam kesehatan mereka, lalu menawarkan produk yang diiklankan sebagai penangkalnya. Orang yang takut pada ancaman semacam itu umumnya akan dengan serta-merta percaya bahwa dia harus membeli dan memakai produk itu untuk melindungi diri dan keluarganya dari ancaman yang mereka persepsi ada karena iklan itu.

Tentu iklan semacam itu ada benarnya. Bahwa kuman ada dan dapat menjadi ancaman bagi kesehatan dan keselamatan kita, benar adanya. Namun bahwa produk itu adalah satu-satunya solusi bagi ancaman dimaksud, tentu tidak benar.

Tubuh manusia yang sehat mempunyai mekanisme pertahanan diri yang memadai untuk menghadapi jutaan kuman yang setiap hari menyerangnya. Mekanisme pertahanan diri ini selalu berevolusi secara sempurna untuk menghadapi evolusi kuman. Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja tubuh manusia ‘gagal’ mempertahankan integritasnya dan jatuh sakit. Itupun umumnya hanya sementara, karena pada saat sakit pun, tubuh manusia terus berusaha untuk mengusir agen-agen asing yang masuk ke dalam dirinya. Riset-riset mutakhir bahkan telah menunjukkan bahwa pemakaian sabun kesehatan atau bahan-bahan antiseptik secara berlebihan justru dapat membahayakan kesehatan, karena kehadiran zat-zat antiseptik itu justru membuat mekanisme pertahanan tubuh menjadi lengah dan lemah karena tidak harus berhadapan langsung dengan para penyerang, sehingga antibodi tidak berevolusi sebagaimana mestinya untuk menghadapi serangan-serangan jenis baru.

Dalam dunia politik, salah satu contoh fear mongering (kampanye menakut-nakuti) yang paling terkenal adalah iklan kampanye pemilihan presiden yang digunakan oleh tim pemenangan Lyndon Johnson, presiden ke-36 Amerika Serikat, yang berjudul Daisy.

Dalam iklan televisi berdurasi sekitar 1 menit itu, digambarkan seorang gadis cilik yang sedang bermain di padang rumput memereteli kelopak-kelopak bunga daisy sambil berhitung. Lalu, ketika hitungannya mencapai angka sembilan, tiba-tiba suara seorang lelaki dewasa terdengar melakukan hitungan mundur untuk peluncuran peluru kendali, dan ketika hitungan mundur itu mencapai angka 0, layar menjadi gelap dan suara ledakan dahsyat terdengar diikuti gambar kilatan cahaya dan awan jamur yang menandai ledakan senjata nuklir. Di akhir iklan itu terdengar suara Lyndon Johnson mengatakan, “These are the stakes! To make a world in which all of God’s children can live, or to go into the dark. We must either love each other, or we must die. … Vote for President Johnson on November 3. The stakes are too high for you to stay home”. (Inilah risikonya! Untuk menciptakan dunia di mana semua anak-anak Tuhan bisa hidup, atau lenyap dalam kegelapan, kita harus saling mencintai, atau kita harus mati. … Pilih Presiden Johnson pada tanggal 3 November nanti. Risikonya terlalu tinggi jika Anda berdiam diri di rumah.)

Dalam kampanye pemilihan presiden yang baru saja berakhir pun kita bisa melihat bahwa taktik ini digunakan — oleh kedua kubu, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK.

Pihak pendukung Prabowo-Hatta menggunakan isu-isu sensitif yang menyoal keislaman atau paling tidak kesalehan Joko Widodo, seperti yang dituduhkan dalam fitnah bahwa Joko Widodo bukan orang Islam, keturuan Tionghoa, dan sebagainya. Lebih spesifik lagi, mereka menyasar isu-isu bahwa jika Joko Widodo terpilih, dia akan membuat peraturan-peraturan yang oleh sebagian umat Islam dianggap tidak berpihak kepada mereka, seperti pengakuan terhadap hubungan sejenis, pengakuan terhadap kelompok-kelompok yang Islam yang dianggap menyimpang dari arus utama, penghapusan keputusan bersama tiga mentri soal izin pendirian rumah ibadah, dan sebagainya.

Sebagian isu itu terbukti tidak benar. Sebagian lagi mungkin benar dan bahkan oleh sebagian orang justru dianggap konstitusional (misalnya dalam hal pengakuan terhadap kelompok-kelompok minoritas).

Terlepas dari itu, isu ini menakutkan — atau paling tidak mengkhawatirkan — bagi sebagian orang. Maka kampanye dengan menggunakan isu-isu tadi dapat dianggap sebagai fear mongering — kampanye menakut-nakuti yang membuat sebagian orang takut atau berpikir dua kali untuk memilih Joko Widodo.

Sementara itu, kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla pun tak mau ketinggalan menggunakan fear tactics ini. Isu yang mereka gunakan adalah tentang rekam jejak Prabowo sebagai seorang prajurit yang diyakini telah melakukan pelanggaran HAM dengan cara melakukan penculikan dan penghilangan aktivis-aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997-1998. Mereka menggunakan isu ini untuk menyebarkan fear (rasa takut) bahwa jika Prabowo terpilih menjadi presiden, maka dia akan melakukan kebijakan-kebijakan antidemokrasi dan melanggar HAM, dan bahwa di bawah kepemimpinannya Indonesia akan dibawa kembali ke era Orde Baru di mana para desiden atau orang-orang yang menentang pemerintah akan dengan mudah ditangkap dan dihilangkan, kebebasan pers akan diredam, dan hak-hak minoritas akan dikebiri.

Kekhawatiran semacam itu semakin dikobarkan oleh kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan menunjukkan fakta bahwa apa yang disebut sebagai kelompok-kelompok garis keras berada di belakang kubu saingan mereka.

Sebagaimana isu-isu lain yang digunakan dalam fear mongering, isu itu mengandung kebenaran namun sekaligus kesesatan.

Benar bahwa Prabowo terindikasi melakukan pelanggaran HAM. Namun bahwa dia betul-betul bersalah belum pernah dibuktikan oleh pengadilan yang independen dan terbuka. Dalam hal ini — jika kita memang berpihak pada dan ingin memperjuangkan HAM — maka kita juga harus taat pada salah satu prinsip HAM yang utama, yaitu seseorang tidak dianggap bersalah sebelum dibuktikan bersalah beyond reasonable doubt (tanpa, secara rasional, ada keragu-raguan sedikitpun) oleh pengadilan yang terbuka dan independen. Inilah prinsip presumption of innocence yang dijunjung tinggi dalam dunia beradab yang menjunjung tinggi HAM.

Kita tahu bahwa selama ini keterlibatan dan kesalahan Prabowo dalam isu penculikan dan penghilangan aktivis prodemokrasi 1997-1998 belum pernah dibuktikan oleh pengadilan yang terbuka dan independen. Bahkan aktivis HAM seperti almarhum Munir pun tegas menyatakan bahwa keterlibatan Prabowo masih perlu dibuktikan di pengadilan.

Ketiadaan pengadilan itu menyebabkan kesimpang-siuran. Apalagi sebagian aktivis prodemokrasi yang pernah menjadi korban kini ada yang mendukung dan berada di pihak Prabowo dalam pemilihan presiden tahun ini. Pencalonan Prabowo sebagai wakil presiden yang maju berasama Megawati pada pemilu 2009 pun tidak memunculkan soal ini. Di samping itu, para petinggi TNI yang waktu itu terlibat dalam kekisruhan pasca lengsernya Suharto berbeda-beda pendapat tetang siapa sesungguhnya yang paling bertanggung jawab atas penculikan dan lenyapnya sejumlah aktivis demokrasi 1997-1998.

Kesimpang-siuran ini menunjukkan bahwa hingga saat ini masih ada reasonable doubts yang belum dapat diselesaikan secara definitif oleh pengadilan yang independen dan terbuka tentang keterlibatan Prabowo dalam peristiwa itu.

Lalu kenapa sejak semula tidak ada upaya untuk mengklarifikasi isu itu dengan membuka pengadilan yang independen?

Saya hanya bisa menduga bahwa pada saat itu, bahkan hingga kini, ada konstelasi kekuatan-kekuatan tertentu terutama dalam tubuh ABRI/TNI yang tidak menghendaki klarifikasi itu dilakukan secara terbuka oleh pengadilan yang transparan dan independen demi melindungi pihak-pihak tertentu yang merasa kepentingannya akan terusik jika kebenaran di balik peristiwa itu dibuka di hadapan publik.

Kekhawatiran bahwa jika Prabowo terpilih menjadi presiden dia akan memutar jarum jam dan mengembalikan Indonesia ke era represif, saya kira juga kurang beralasan. Situasi Indonesia saat ini jauh berbeda dengan era sebelum 1998. Institusi-institusi demokrasi dan sistem check and balances kita sudah jauh lebih baik daripada masa itu. Presiden tidak bisa membubarkan parlemen. Sebaliknya, parlemen memiliki kemungkinan untuk memakzulkan presiden. Presiden juga tidak punya kekuasaan untuk menyatakan keadaan darurat tanpa persetujuan parlemen.

Dengan alasan-alasan itu, saya kira, siapapun presiden yang kita pilih amat sangat kecil kemungkinannya (kalau tidak ingin dikatakan tidak ada) untuk bertindak otoriter dan mengembalikan Indonesia ke era represif seperti pada zaman Orde Baru.

Namun demikianlah fear mongering. Di dalamnya ada (sedikit) kebenaran. Namun kebenaran itu dipelintir sedemikian rupa agar hal-hal yang tidak benar mengenai sesuatu isu dapat ditutup-tutupi demi kepentingan kampanye pihak tertentu.

Bagi saya, tidak masalah siapapun yang akan terpilih dalam pemilihan presiden 9 Juli nanti. Kedua-duanya sah secara hukum untuk dipilih karena telah ditetapkan oleh KPU sebagai calon yang sah menurut undang-undang. Yang menjadi keprihatinan saya adalah justru kepentingan para pemilih yang karena penggunaan scare tactics menjadi terbutakan oleh isu-isu penting lain yang justru seharusnya menjadi perhatian utama dalam kontes kepresidenan tahun ini.

Mudah-mudahan kita bisa menjadi pemilih yang tak digerakkan oleh rasa takut, namun oleh kesadaran tentang pilihan isu-isu kesejahteraan dan kemaslahatan bersama sebagai bangsa. Rasa takut adalah emosi primer yang menghalangi kita berpikir logis. Oleh karena itu tidak sepantasnya ia dijadikan pertimbangan utama dalam memilih pemimpin.

Eki Akhwan, 7 Juli 2014

2 pemikiran pada “‘Fear Mongering’

  1. Ping-balik: Fear Mongering

Thank you for reading. I'd love to hear from you.