Eksomemori dan Eksomemorisasi


Dalam salah satu dialognya, Plato bercerita tentang kunjungan Theuth, dewa penemu huruf, kepada Thamus, dewa penguasa negara Mesir. Kunjungan itu, konon, dilakukan Theuth dalam rangka merayu sejawatnya itu agar ia berkenan memberi izin padanya untuk menyebarluaskan penemuannya di kalangan rakyat Mesir.

Sebagai penguasa yang arif, Thamus tentu tidak dengan serta-merta memberikan restunya. Dia harus yakin betul bahwa penemuan itu benar-benar berguna bagi rakyatnya.

Maka, dia pun meminta Theuth untuk mempresentasikan penemuannya itu.

Theus berusaha meyakinkan Thamus bahwa huruf-huruf penemuannya akan membuat rakyat Mesir menjadi lebih pandai, lebih bijak, dan mempunyai ingatan yang lebih panjang.

Selesai presentasi, dengan penuh takzim — etika yang rupanya berlaku dalam pergaulan antardewa — Thamus menjawab:

“Wahai Theus yang cerdik, … [aku khawatir] penemuanmu itu akan menyebabkan mereka menjadi pelupa, karena mereka tidak akan lagi menggunakan ingatannya; mereka akan bersandar pada huruf-huruf tertulis yang ada di luar kepala mereka dan tidak bisa mengingat sendiri. …”

[Kutipan itu saya potong sampai di situ. Bagi yang ingin mebaca percakapan itu selengkapnya — dalam Bahasa Inggris — silakan buka rujuan ini.]

Kekhawatiran Thamus tentu saja tak terbukti. Alih-alih menjadikan manusia pelupa, tulisan justru telah membantunya mengumpulkan memorinya sendiri, memori kolektifnya, dan memperpanjang rentang memori itu melampaui ruang dan waktunya sendiri.

Kemampauan tulis-menulislah  yang telah melompatkan manusia dari sekelompok mahluk pemburu dan peramu — yang hanya berbeda tipis dengan binatang — ke Era Pertanian dan, melalui revolusi percetakan, ke Era Industri.

Theus benar. Kemampuan tulis-menulis telah membuat manusia — bukan hanya rakyat Mesir — menjadi lebih pandai, lebih berhikmah, dan mempunyai ingatan yang lebih panjang.

Namun ini tidak berarti bahwa Thamus keliru. Dewa, saya kira, tidak pernah keliru. 😀 Atau, benar-salah itu sendiri yang selalu berubah-ubah penampakan, sehingga masalah benar-salah kadang-kadang hanya persoalan waktu dan konteks, pemahaman dan pembuktian.

Di Era Digital berjaringan dewasa ini, kekhawatiran Thamus justru menjadi relevan.

Beberapa penelitian di bidang psikologi menunjukkan bahwa Internet telah mengubah daya ingat manusia dan cara manusia memerlakukan informasi. Sekelompok subjek penelitian, yang diminta untuk mengingat sejumlah fakta, cenderung kurang mampu mengingat fakta-fakta itu jika mereka diberitahu di muka bahwa mereka akan dapat mencari informasi yang mereka butuhkan itu di Internet. Kelompok pembanding, yang tak diberitahu bahwa mereka akan dapat mencari informasi yang mereka butuhkan di Internet, sebaliknya, menunjukkan kemampuan mengingat fakta yang mereka butuhkan dengan lebih baik. Internet, dengan kata lain, telah menjadikan manusia malas mengingat — persis seperti apa yang dikhawatirkan oleh Thamus tentang tulisan.

Inilah gejala eksomemori (eksomemorisasi?): pengalihan penyimpanan sebagian memori ke luar kepala. (Istilah ‘hafal di luar kepala’ yang selama ini dikenal dalam Bahasa Indonesia, barangkali nanti akan cenderung mempunyai makna ini.) Internet telah menjadi semacam cakram padat eksternal  (atau memori transaktif) kolektif yang menjadi perpanjangan dari otak kita.

Ini sebenarnya bukan hal baru. Penyimpanan memori di luar kepala telah terjadi sejak manusia mengenal tulis-menulis. Realokasikan sebagian energi otak ke luar masuk akal agar ia memiliki cukup energi untuk hal-hal yang lebih penting. Einstein, konon, bahkan pernah menganjurkan agar kita tak perlu mengingat apapun yang dapat kita cari di dalam buku.

Namun ini tidak berarti bahwa penggunaan Internet dan gejala eksomemorisasi tak perlu diwaspadai.

Berbeda dengan Era Teknologi Informasi Cetak dan Mekanis, Era Teknologi Digital bersifat sangat invasif. Kombinasi akses Internet dan proliferasi mobile computing telah memungkinkan koneksi instan antara otak individu dengan jaringan maya yang menyimpan informasi. Akibatnya, individu semakin bergantung dan terbiasa dengan memori eksternal.

Riset di bidang kelenturan otak (neuroplasticity atau cortical remapping) telah cukup lama menunjukkan bahwa jaringan saraf otak tidak berhenti berkembang seiring dengan terlewatinya masa kanak-kanak sebagaimana yang dulu diyakini. Otak terus menciptakan ‘jalur-jalur saraf baru’ (new neural pathways) dan memodifikasi jalur-jalur yang telah ada untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman-pengalaman dan tantangan-tantangan baru yang dihadapinya. Gejala eksomemorisasi yang meluas, dengan demikian, dapat mengancam perkembangan otak manusia modern. Berkurangnya penggunaan otak yang diakibatkan oleh eksomemorisasi dapat mengerutkan dan mengurangi kemangkusannya. Bagian otak yang semakin kurang dipakai — karena fungsinya telah dialihkan kepada Internet — akan mengkerut dan mengalami disfungsi.

Ini tentu saja mengkhawatirkan. Murid yang tahu bahwa dia dapat menggunakan kalkulator untuk menyelesaikan soal berhitungnya, otaknya tidak akan seterlatih murid yang tahu dia harus menggunakan otaknya sendiri untuk memroses soal-soal matematika yang dihadapinya. Mahasiwa yang tahu bahwa dia bisa bergantung pada Internet untuk mendapatkan fakta-fakta yang diperlukannya tidak akan berusaha sekeras mahasiswa yang tahu bahwa dia tak akan mempunyai akses instan atas fakta-fakta itu. Akibatnya, menurut saya, akan terjadi pendangkalan belajar yang kualitas pembelajaran.

Eki Akhwan — 7 Februari 2013

 

2 pemikiran pada “Eksomemori dan Eksomemorisasi

  1. Beberapa waktu lalu, saya sempat berdiskusi dengan manager saya yang juga seorang dosen DKV mengenai fenomena yang saya lupa istilah tepatnya tapi saya akan sebut disini sebagai “loncat budaya”. Beliau memiliki kekhawatiran yang sama dengan Pak Eki, namun yang digaris bawahi adalah fase literasi tradisional yang terlewat. Jadi dari budaya lisan, tidak sempat mendalami budaya tulisan melainkan loncat ke budaya digital. Yang terjadi kurang lebih dengan yang Pak Eki tulis:

    … jaringan saraf otak tidak berhenti berkembang seiring dengan terlewatinya masa kanak-kanak sebagaimana yang dulu diyakini.

    Saya pribadi sangat pro terhadap penggunaan teknologi namun fenomena ini, terlebih setelah Pak Eki tuliskan -dan saya baca-, membuat saya jadi mengunjungi kembali apa yang saya percayai.

    Meskipun begitu, saya pribadi menitik beratkan pada trade-off karena semua keputusan itu pasti ada plus minus-nya tinggal dipilih saja mana yang paling menguntungkan. Sama seperti kisah theus dan teuth, apakah kerugian yang disebabkan tulisan disertai keuntungan yang lebih signifikan? Apakah fenomena eksomemori disertai keuntungan yang lebih signifikan? Jika iya, mungkin itu trade-off yang pantas untuk diambil.

    Note:
    1. Blog manager saya: http://widhyatmoko.wordpress.com/. Sangat well-written, dan recommended 😀
    2. AFAIK kompromi / compromise bisa digunakan untuk padanan trade-off, tapi saya kok merasa maknanya agak negatif ya. Ini tulisan yang membuat saya sangat suka istilah tersebut: http://37signals.com/svn/posts/3269-behind-the-speed-basecamp-mobile

  2. Jadi inget cerita orang tua dulu yg katanya mereka menggunakan sabak yg terbuat dari tanah liat sebagai salah satu media belajar di kelas. Karena sifatnya yg hanya sekali pakai, mereka harus mengingat dengan keras pelajaran yg disampaikan guru di kelas agar bisa mengikuti pelajaran berikutnya. Sekarang beberapa siswa sudah banyak yang membawa tablet. Dengan mudah mereka membuka ebook di mana pun, tidak hanya di kelas. Bahkan kalau malas mencatat di kelas, mereka memotret papan tulis. Saya pikir seharusnya teknologi bisa mendatangkan revolusi belajar. Tapi ternyata tidak selalu demikian. Terima kasih Pak Eki atas wawasannya.

Thank you for reading. I'd love to hear from you.