Setuju dengan Pengurangan Subsidi BBM?


Ini opini tutup mata, blindfolded opinion (istilah saya): saya mau berpendapat sebagai orang awam yang pengetahuannya terbatas tentang subjek yang akan saya komentari.

Isu tentang pengurangan subsidi BBM, yang akibatnya akan menaikkan harga jual, sungguh telah membuat suasana negeri ini menjadi panas. Orang-orang menjadi gerah: ada yang marah, ada yang mengumbar sumpah serapah, ada juga yang pasrah.

Saya tahu — sadar — kenaikan harga BBM akan menjadi tambahan beban bagi banyak orang: Keluarga dan kerabat saya, tetangga saya, sahabat dan teman-teman saya, orangtua dari mahasiswa saya, bahkan saya sendiri — yang ekonominya masih rapuh dan mudah terguncang oleh riak-riak kecil kenaikan harga ini dan itu. Tapi setelah mendengar, membaca, dan menimbang informasi dan argumen yang diberikan oleh para pihak — yang mendukung dan yang menolak — saya memutuskan untuk dengan ikhlas bersekutu dengan pihak yang menerima pengurangan subsidi.

Saya tidak antirakyat, karena saya juga rakyat. Saya bukan tidak berempati dengan kesusahan dan beban yang akan ditanggung oleh kerabat dan sahabat saya, karena saya juga bagian dari mereka — yang akan menanggung beban itu. Alasan dan logika saya sederhana saja:

Kita ini negara pengimpor minyak. Minyak yang kita konsumsi lebih besar daripada yang kita produksi. Selisihnya kita beli. Maka, wajar rasanya kalau harga di pasar naik, kita — sebagai konsumen — merasakan akibat kenaikan itu. Namun, selama ini kita tidak merasakan akibat kenaikan itu karena ada yang membayarkan selisih harga di pasar dan harga yang kita bayar. Si pembayar itu adalah pemerintah, dan uang yang digunakannya adalah uang kita juga: iuran yang kita bayarkan melalui pajak.

Sampai di sini sebenarnya sah-sah saja kita menerima subsidi itu, karena toh kita juga yang membayarnya.

Tapi pajak yang kita bayarkan itu sebenarnya — lebih utamanya — bukan untuk keperluan konsumsi, kan? Pajak itu kita bayarkan agar pemerintah melakukan pembangunan untuk memperbaiki keadaan bangsa ini: jalan, jembatan dan pelabuhan perlu dibangun, diperbaiki, dan dirawat agar transportasi lancar dan ekonomi menjadi baik; sekolah perlu dibangun, guru digaji dengan baik, dan fasilitasnya ditambah agar kualitas anak negeri menjadi lebih baik; dan sebagainya, dan sebagainya. Nah, kalau ratusan triliun uang itu terpakai untuk subsidi konsumtif seperti BBM, apakah jatah untuk membangun masa depan tidak berkurang?

Kalau jatah untuk subsidi BBM itu kecil dan stabil, mungkin tidak apa-apa. Kalau subsidi itu kian membengkak akibat gejolak harga pasar yang di luar kendali kita, maka pasti lama-kelamaan ia akan mengganggu jatah untuk keperluan pembangunan masa depan. Apakah kita mau mengorbankan masa depan hanya gara-gara kita harus membayari keperluan konsumtif hari ini?

Secara mental, kebiasaan dibayari adalah kebiasaan buruk yang meninabobokan. Ia bisa mengakibatkan kemalasan, ketergantungan, dan kurangnya kemauan untuk berjuang dan berusaha berdiri di atas kaki sendiri (istilah Bung Karno: berdikari).

Kita memang dianugerahi Tuhan negeri yang serba ada: “Bukan lautan, hanya kolam susu; tongkat, kayu, dan batu pun jadi tanaman” (syair lagu Koes Plus). Mungkin karena itu kita menjadi terbiasa diberi atau mengharapkan pemberian dari alam dan dari sesama. Tapi toh alam ada batasnya. Dulu kita pikir kita punya minyak bumi yang berlimpah, kita bisa memakainya dengan sesuka hati. Sekarang apa yang kita pakai sudah melebihi apa yang kita punya. Masihkan kita akan memakainya dengan sesuka hati tanpa membayarnya? Bisakah kita tetap memakainya dengan sesuka hati dan berharap bahwa orang lain — termasuk anak cucu kita — yang akan membayarinya? Mental semacam apa ini? Pengemis? Orangtua yang mau mengorbankan masa depan anak cucunya demi kepentingannya sendiri hari ini?

Mungkin subsidi itu bisa dibenarkan andaikan subsidi itu jatuh ke tangan orang-orang yang memang membutuhkan dan digunakan untuk keperluan-keperluan yang produktif yang dapat membangun kesejahteraan di masa depan.

Tapi lihatlah, siapa yang memakai premium: orang-orang bermobil dan bermotor yang tidak selalu memakainya untuk keperluan-keperluan produktif karena mereka merasa bensin yang mereka pakai bukan barang yang mempunyai nilai ekonomis (baca: murah) dan, oleh karena itu, bisa dipakai dengan sesuka hati untuk berhura-hura. Mereka lupa bahwa konsumsi mereka telah dan akan mengurangi jatah kesejahteraan yang menjadi hak anak cucu mereka. Mereka lupa pada kaum papa dan duafa yang terlunta-lunta dan memerlukan fasilitas dan bantuan yang bisa mengangkat derajat kesejahteraan mereka. Apakah tidak lebih baik kalau uang yang mereka bakar untuk kesenangan diri sendiri itu dipakai untuk memberi subsidi pupuk bagi petani? Memberi beasiswa bagi anak kaum papa yang cerdas dan ingin maju? Memberi kredit bagi mbok-mbok pedagang pasar, nelayan yang memerlukan mesin untuk perahu mereka? Membangun prasarana jalan dan angkutan umum yang murah dan bisa diakses oleh orang banyak? Membangun rumah sakit dan memberi pelayanan kesehatan yang murah bagi yang memerlukan?

Alangkah bodoh dan kejamnya kita kalau kita memilih mempertahankan subsidi dan mengorbankan kepentingan kita dan anak cucu kita sendiri di masa depan.

Beberapa waktu yang lalu, saya menonton acara debat APBN di parlemen negara tetangga kita Singapura — tentang bagaimana mereka berpikir jauh ke masa depan, tentang bagaimana mereka memohon kerelaan warga negara untuk berkorban hari ini demi masa depan. Semboyan mereka adalah “short term pain, long term gain” — berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Tampaknya kita telah lupa pada kearifan yang diajarkan oleh nenek moyang kita sendiri. Kita ingin senang hari ini dan membiarkan esok datang sendiri. Kumaha engke. Padahal esok tak mungkin dibangun tanpa usaha hari ini.

Egoisme — dan hedonisme? — telah membuat kita lupa pada nilai-nilai patriotik yang telah memerdekakan bangsa ini dari penjajahan. Kita lupa pada pengorbanan para pendahulu kita — kakek dan nenek kita — yang rela sakit, rela mati, rela harta bendanya musnah demi kita, anak cucunya. Mereka melakukan semua pengorbanan itu agar kita merdeka dan punya harga diri sebagai bangsa. Tidak maukah kita sekarang berkorban — sakit sedikit — demi anak cucu kita, sebagaimana kakek moyang kita sakit dan menderita demi kita?

Alasan dan logika itu sebenarnya telah cukup bagi saya untuk dengan rela hati menerima pengurangan subsidi. Tapi sebagai warga negara saya juga masih ingin berkata bahwa saya tidak suka dengan perilaku para politisi yang berada di pucuk-pucuk menara itu. Saya tidak suka dengan cara-cara mereka memanfaatkan isu ini untuk mengembangkan layar perahu mereka sendiri. Mereka berkoar-koar atas nama rakyat, hari ini. Mereka berkata negara masih bisa menghemat sekian dan sekian dari ini dan itu untuk menutupi dan mempertahankan subsidi, hari ini. Tidak ingatkah mereka kemarin, ketika mereka dengan seringai dan tanpa rasa bersalah tak hadir di tempat yang mestinya mereka hadir? Tak bicara atas nama rakyat ketika mereka seharusnya berbicara atas nama rakyat? Mengambil hak yang mestinya menjadi hak rakyat? Korupsi dan suap sana sini? Berapakah uang negara dan uang anak cucu yang mereka lahap dan terkumpul di perut mereka yang buncit?

Kemarin mereka merampok hak rakyat. Hari ini mereka menyerukan penghematan atas nama rakyat. Untuk apa? Supaya mereka bisa membedaki hidung belang mereka? Saya sama sekali tidak terpesona oleh aksi panggung mereka.

Saya juga tidak terpesona oleh aksi panggung para mahasiswa, yang katanya membela dan memperjuangkan nasib rakyat itu. Mereka terlalu dikuasai oleh emosi dan ditelan oleh mitos tentang agent of change. Padahal otak mereka kosong — karena kurang membaca — dan terlalu asyik dengan diri dan citra mereka sendiri. Sebab, kalaulah mereka berakal panjang, tentulah mereka tak akan anarkis — menyalakan api, menghalangi jalan, menyebabkan kemacetan, menghalangi rakyat mencari nafkah, merusak hak milik negara dan orang, dan berteriak-teriak dengan mulut berbusa (=buih, gelembung yant tak punya substansi). Tak sadarkah mereka bahwa semua itu milik rakyat, yang mereka klaim sedang mereka perjuangkan?

Sama seperti para politisi itu, hari ini mereka mengaku tengah menjadi penyambung lidah rakyat; tapi kemarin, saat mereka dipercaya untuk belajar dengan subsidi rakyat, mereka abai dan lebih suka bersenang-senang dengan diri mereka sendiri. Tak tahukah mereka, tak sadarkah, bahwa dengan tak melaksanakan tanggung jawab untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan memajukan diri sendiri, mereka telah mengorupsi uang rakyat yang membayari sebagian dari biaya pendidikan mereka?

Sudah menjadi rahasia umum, “aktivis” — gelar yang mereka sandang dan bangga-banggakan — seringkali hanya menjadi kedok untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan kemalasan mereka untuk belajar. “Aktivis” hanya menjadi wahana dan tangga agar mereka — suatu saat nanti, lewat sebuah kebetulan sejarah seperti yang pernah terjadi dengan para pendahulu mereka — bisa juga sampai ke puncak menara, lalu punya kesempatan untuk menjarah juga.

Ya, barangkali ini cuma prasangka. Ya, barangkali ada juga aktivis yang pintar, rajin, dan bertanggung jawab. Tapi, maaf, untuk saat ini saya tidak melihatnya. Anarkisme dan busa di mulut mereka, bagi saya, sudah cukup menjadi penanda bahwa mereka adalah bayi-bayi homo politicus yang kelak akan tumbuh besar menjadi sama licik dan rakusnya dengan para politikus yang kini tengah mereka sumpahi dan caci-maki.

Cukuplah. Mudah-mudahan masih ada akal sehat dan nurani bening yang mampu berpikir jernih dan menimbang dan melangkah dengan bimbingan Cahaya Ilahi.

(Bersambung)
__________________
Eki Akhwan, 27 Maret 2012

46 pemikiran pada “Setuju dengan Pengurangan Subsidi BBM?

  1. Menurut saya pribadi Tulisan ini seperti membaca puisi cinta atau kata kata mutiara yg pada kenyataan tidak sejalan

  2. Tulisan yang sangat cerdas, pak. Saya pun -meski sangat awam atas pemasalahan ini, setuju dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM dan mengalokasikannya untuk mereka yang lebih berhak. Disini yang membeli motor dan mobil siapa? Apakah ‘mereka yang kurang’? Subsidi BBM memang seperti meninabobokan, macam terlena dengan ‘kemanjaan’ ini, dan ketika ‘kemanjaan’ mereka terusik, mereka mengerang, memaki bahkan sampai hati melukai yg lain karena tindak anarkisme mereka, dan menangis, mirip seperti bayi! Dengan mengurangi subsidi BBM bukankan ini akan ,membantu rakyat kecil? Mengapa harus gusar, takut dan marah untuk membantu sesama kita? 🙂

  3. Pendapat yang sangat cerdas, pak! Saya pun setuju dengan usul pemerintah dalam mengurangi subsidi BBM, yang punya motor dan mobil siapa ? Apakah ‘mereka yang kurang’? Memang subsidi selalu meninabobokan rakyat, mereka merayakan ‘kemanjaannya’ ini dan ketika ‘kemanjaannya’ terenggut, mereka memberontak, anarkisme pun marak, mereka menangis, mirip seperti bayi! Benar, baiknya ‘uang tambahan’ yang kita bayarkan ini bisa dimanfaatkan bagi ‘mereka yang kurang’, jadi kenapa kita harus takut dan menentang keras untuk membantu sodara kita yg kekurangan? CMIIW, saya hanya orang yang sangat awam atas masalah ini namun hanya ingin sedikit berkomentar, maaf jika tidak berkenan 🙂

  4. pemikiran yang manis, tepat dan cukup menjawab kenapa saya dan kita semua harus lebih ikhlas menerima kenaikan BBM. Bukan bermaksud bersikap acuh, tidak peduli dan tidak pro rakyat. Tetapi jika dengan terjadinya penguranagn BBM semoga pemerintah lebih punya alternatif yang lebih baik sebagai solusi bagi kehidupan rakyat yang mencekik saat ini. sudah saatnya negri ini memiliki orang-orang yang memberi solusi, bukan lagi masalah. semoga yang saat ini tengah meradang urat tenggorokan dengan mengatasnamanakan rakyat, sebagai agent of change atau pun mahasiswa mampu membawa dan memerikan solusi bukan justru semakin memperparah kondisi negri ini

  5. Penjelasan yang sangat manis, tepat, dan cukup menjawab kenapa setidaknya saya -kita semua- harus menerima kenaikan BBM. Saya setuju dengan pendapat bapak. Namun bukan berarti bermaksud bersikap acuh, tidak kritis dan tidak peduli sekitar. tapi lebih tepatnya saya merasa dan juga melihat bahwa memang subsidi BBM jauh lebih banyak dinikmati oleh kaum ber-uang. semoga dengan kenaikan BBM, pemerintah lebih punya solusi yang cukup baik untuk alternatif kehidupan rakyat yang makin mencekik. negara ini bukan lagi butuh umpatan karena hanya akan menambah masalah. sudah saatnya yang urat tenggorokannya sedang meradang sekarang, menghadapi panas dan hujan, yang mengatasnamakan dirinya agent of change dan mahasiswa, mengeluarkan dan memberikan solusi nyata. agar uang subsidi pendidikan yang diberikan tidak berarti sia-sia dan negri ini makin membaik dalam perubahan, bukan kehancuran serta anarkisme yang sekarang terjadi

  6. Memang serba salah ini kebijakan, coba kalau rakyat punya kepercayaan sama perintah, saya yakin pasti tidak ada demo (mungkin cuma yg mau curi2 jam kuliah). Kalau ga dilepas jadi kaya narkoba kalau dilepas uangnya di korup, masalahnya udah di akar jadi percuma kalau rantingnya dipotong.

  7. Terlalu lama bangsa ini dibodohi dan dimanja dengan subsidi. Harga murah (dengan hutang) tapi bayar belakangan…

    Kalo saya sederhana aja mas.

    1 Liter air mineral = Rp 3000,-
    1 Liter Premium = Rp 4500,-

    Silahkan Naik! Dengan catatan jatah yang ada dipergunakan untuk perbaikan infrastruktur masyarakat. Jika tidak, maka jangan salahkan people power. Sudah naik, tapi layanan bodong…

    My 2 cents

  8. Saya setuju saja,tetapi yang paling pas untuk saat ini menurut saya, BBM untuk SPd motor dan angkutan umum tidak naik,dan untuk kendaraan Pribadi Semua Harus Pakai Pertamax, dan MPR,DPR , semua harus bisa berhemat jangan sampai melukai hati rakyat ini dg hal hal yg tidak perlu, seperti Renofasi Ruang Banggar yang sampai menghabiskan 20 miliar lebih beberapa waktu yg lalu
    Semoga semua masyarakat kita jadi masyarakat yang cerdas…….

  9. Terima kasih atas semua komentar dan share-nya. Yang setuju dan tidak setuju, semua saya hargai sama tinggi. Bagi saya, berdialektik — berbagi gagasan dan pemikiran di mimbar terbuka seperti blog ini — jauh lebih bagus daripada berteriak-teriak emosional dengan mulut penuh busa dan bertindak anarkis dan mengganggu kepentingan umum di jalanan.

    Sekali lagi, terima kasih.

  10. Sebenarnya yg menjadi persoalan sekarang adalah ketidak percayaan rakyat kepada pemerintahnya! Rakyat sudah bosan dengan semua janji palsu yg diucapkan pemerintah, termasuk pengalihan dana subsidi bbm yg (katanya) akan digunakan pemerintah untuk pendidikan, pembangunan dan blablabla. Membandingkan negara kita dengan spore pun bukan perbandingan yg tepat, pendapatan perkapita mereka jauh lebih tinggi dari indonesia! Intinya bbm naik sampai 20rb perliter pun tidak masalah asalkan pertanggung jawaban dari pemerintah jelas dan rakyat dapat merasakan langsung kebaikan dari kebijakan yg dilakukan pemerintah! Karena rakyat kecil tidak butuh, mereka (kita) hanya butuh MAKAN dan masa depan untuk anak cucu kita. Terimakasih, ini hanya opini pribadi dari seorang mahasiswa yang tidak setuju dengan aksi demo belakangan ini. Best regards

    1. Singapura, dalam banyak hal, juga jelas tidak sebanding dengan kita. Yang ingin saya tekankan dalam paragraf itu adalah sikapnya — sebuah kearifan yang sebenarnya justru telah diwasiatkan oleh nenek moyang kita sendiri. Kalau ingin maju seperti mereka, janganlah kita hanya berpikir untuk hari ini, mencari jalan pintas untuk kesenangan dengan melupakan masa depan, seperti korupsi dan memerkosa kekayaan alam.

      Kalau kita berpikir jauh ke depan, seperti yang telah diwasiatkan oleh kearifan nenek moyang, mungkin hari ini kita sudah bisa lebih maju dari mereka. 🙂

  11. Tulisan yang bagus, saya sependapat dengan anda. Di Papua, NTT dan Kalimantan bahkan harga BBM bisa mencapai Rp.15.000/liter dan mereka bilang sudah terbiasa asalkan stok BBM tidak langka. Ini dikarenakan stok BBM untuk mereka diambil oleh daerah yang lebih padat seperti di Jawa. Apa kita tidak malu dengan keadaan ini? kita yang berada di daerah padat dengan tercukupinya pasokan BBM+harga yang murah memakainya dengan boros, irasional dan bukan untuk keperluan produksi. Juga semua Presiden Indonesia pernah menaikan harga BBM.

  12. terima kasih atas tulisan dengan sudut pandang lain. tapi untuk saya yang pernah merasakan sebagai rakyat jelata dan merasakan dampak dari kenaikan bbm tulisan anda hanya omong kosong. Yah, ketika anak anda kelaparan dan tak bisa sekolah karena tak ada biaya, ketika anda tak yakin besok akan bisa berangkat kerja karena ongkos angkutan umum naik dan ketika anda tak yakin esok akan menikmati nasi meski tanpa lauk. jika anda membicarakan anak cucu dimasa depan maka kami rakyat jelata tak yakin anak cucu kami bisa hidup tanpa isi perut. inikah keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang dibuat para pendiri bangsa ini? jika pemerintah tidak dapat menolong, cukuplah dengan jangan tambah beban kami rakyat jelata. jika ingin mengurangi subsidi, hentikanlah subsidi kepada mereka yang berlebihan, jangan biarkan mereka menikmati hak kami, apakah hal itu sulit? lebih sulit dibandingkan dengan melihat kami rakyat jelata diambang kehancuran?

    1. Persis seperti yang Anda harapkan, pengurangan subsidi ini, dalam pandangan saya, justru dilakukan agar subsidi itu tidak salah sasaran dan dinikmati oleh orang-orang yang hidupnya sudah berkecukupan.

      Subsidi BBM itu tidak adil, karena kebanyakan dinimati justru oleh orang-orang yang bermobil. Alangkah baiknya kalau jatah subsidi itu dialihkan ke sektor-sektor yang langsung diperlukan oleh rakyat kecil.

  13. Eki Akhwan Teruslah menulis …. Penyampaian yg indah.
    Sptnya Kita memang tidak ada pilihan lagi selain setuju dengan keputusan pemerintah. Meski sakit tapi itulah kondisi yg sdg kita hadapi. Semoga mereka yg demo / yg teriak teriak tidak hanya bisa protes saja tapi kita harapkan mereka juga pandai mencarikan solusi yg lebih baik demi kesejahteraan rakyat dan kemakmuran negri kita yg tercinta ini . .
    Salam .

  14. Haruskah Harga BBM Naik??

    Analisis soal salah hitung Pemerintah dalam hal bisnis BBM di Indonesia :

    1. Pertamina memperoleh hasil penjualan BBM premium sebanyak 63 Milyar liter dengan harga Rp.4.500,- yang hasilnya Rp. 283,5 Trilyun

    2. Pertamina harus impor dari Pasar Internasional Rp. 149,887 Trilyun

    3. Pertamina membeli dari Pemerintah Indonesia Rp. 224,546 Trilyun

    4. Pertamina mengeluarkan uang untuk LRT 63 Milyar Liter @Rp.566,- = Rp. 35,658 Trilyun

    5. Jumlah pengeluaran Pertamina Rp. 410,091 Trilyun

    6. Pertamina kekurangan uang, maka Pemerintah yang membayar kekurangan ini yang di Indonesia pembayaran kekurangan ini disebut “SUBSIDI”

    7. Kekurangan yang dibayar pemerintah (SUBSIDI) = Jumlah pengeluaran Pertamina dikurangi dengan hasil penjualan Pertamina BBM kebutuhan di Indonesia :
    = Rp. 410,091 Trilyun – Rp. 283,5 Trilyun
    = Rp. 126,591 Trilyun

    8. Tapi ingat, Pemerintah juga memperoleh hasil penjualan juga kepada Pertamina (karena Pertamina juga membeli dari pemerintah) sebesar Rp. 224,546 Trilyun.

    *Catatan Penting: hal inilah yang tidak pernah disampaikan oleh Pemerintah kepada masyarakat

    9. Maka kesimpulannya adalah pemerintah malah kelebihan uang, yaitu sebesar perolehan hasil penjualan ke pertamina – kekurangan yang dibayar Pemerintah (subsidi)
    = Rp. 224,546 Trilyun – Rp. 126,591 Trilyun
    = Rp. 97,955 Trilyun

    “Artinya, APBN tidak jebol justru saya jadi bertanya, dimana sisa uang keuntungan SBY menjual BBM sebesar Rp. 97,955 Trilyun”.
    JADI ISTILAH SUBSIDI ADALAH BOHONG…
    (analisa Kwik Kian Gie & Anggito Abimanyu)

    1. Terima kasih atas tambahan info-nya.

      Apakah kelebihan uang itu bisa membenarkan dipertahankannya subsidi yang tidak adil dan salah sasaran (lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas), atau sebaiknya digunakan untuk sektor-sektor yang langsung menolong kehidupan rakyat kecil?

      1. masalah subsidi bbm yang tidak adil memang menjadi permasalahan di negeri ini, tapi bukan lantas harus mencabut subsidi bbm secara keseluruhan karena akan menimbulkan berbagai efek (multiplyer effect), contoh tingkat inflasi, pengangguran dan tingkat kemiskinan yang semakin tinggi. seharusnya buat regulasi yang adil terkait subsidi bbm, misal hanya untuk kalangan menengah kebawah dengan indikatornya tersendiri.

        sektor yang menolong rakyat kecil sebenarnya sudah ada anggarannya di kementrian masing masing, jika pemerintah beralibi untuk mengeluarkan dana BLSM yang harus ditanyakan akankah ini berjalan sesuai dengan konsep? bagaimana tentang korupsi, salah sasaran, suap dan lain-lainnya?

        inti masalahnya pada kasus BBM kali ini adalah:
        1. pemerintah menghitung APBN defisit karena penyesuaian harga minyak mentah

      2. (1) Saya kira saya juga tidak akan setuju dengan pencabutan total hari ini. Judul tulisan saya sudah jelas: “Pengurangan” bukan “Pencabutan”.
        (2) Kalau yang dimaksud dengan regulasi subsidi BBM yang adil adalah kebijakan multiharga (harga BBM untuk orang miskin berbeda dengan harga yang harus dibayar oleh orang kaya), jelas tidak mungkin. Pasti kacau, susah diawasi, dan akan menimbulkan korupsi dan transaksi-transaksi di belakang layar.
        (3) Anggaran untuk membantu rakyat kecil memang sudah ada. Pengurangan subsidi BBM akan memungkinkan dana dan jangkuannya ditambah.
        (4) Korupsi dan kebocoran harus terus diperangi, tapi tidak boleh dijadikan alasan untuk menghentikan bantuan bagi rakyat kecil.

      3. Untuk kebijakan perbedaan harga (diskriminasi harga-teori pasar) sangat bisa dilakukan oleh pemerintah terkait Harga BBM di masyarakat ini, karena efeknya tidak terlalu besar terhdap perekonomian (inflasi).
        saya juga kurang setuju jika subsidi BBM dinikmati orang kaya, ya orang kaya nya itu yang harus tau diri atau diingatkan oleh yang faham tentang BBM yang seharusnya mereka konsumsi (pertamaks). masalahnya kalau harga BBM dinaikkan serentak (asumsi menjadi Rp. 6000) itu efeknya akan multisektor, bagi orang menengah ke atas akan aman2 saja, tapi bagi petani, supir angkot, ibu rumah tangga, naiknya biaya produksi, turunnya omzet, barang indonesia akan semakin kalah pasar oleh barang luar negeri karena harganya lebih murah, PHK > kemiskinan > pengangguran, jadi analisisnya panjang,mungkin inilah yang disuarakan oleh kebanyakan aktivis dan cendekiawan indonesia.
        naikkan dulu tingkat kesejahteraan dan turunkan dulu tingkat kemiskinan jika harga bbm mau dinaikkan secara serentak. memang dilematis masalah migas ini, karena pertamina saja hanya memiliki ‘jatah’ 20 persen dari kekayaan minyak di indonesia, sisanya cevron, dll (seharusnya diberikan ruang lebih, dibandingkan perusahaan asing).
        pasal 6(a) pun mau di tinjau ulang oleh pa Yusril ke MK karena menyerahkan harga minyak mentah ke mekanisme pasar, seharusnya tidak dilakukan karena bertentangan dengan UUD.

        sambil menunggu waktunya harga bbm naik, seharusnya para peneliti tingkat akar rumput, organisasi riset dan pelaku usaha yang didukung oleh pemerintah harus disinergiskan untuk mencari alternatif energi terbarukan, selain meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat, pengalokasian uang hasil korupsi, perencanaan ulang APBN yang lebih efesien dan tidak di mark up, dan dari pajak. sy pikir ini kebijakan yang lebih elegan yang perlu dilakukan oleh pemerintah.

        😀

    2. Yah analisa Kwik Kian Gie, coba googling lagi, banyak ekonom yang menyatakan ini keliru. Kesalahannya terdapat pada Kwik penyamakan minyak mentah dengan BBM, ini sungguh keliru, harga minyak mentah dengan BBM berbeda. Dan apakah pernah Kwik bilang kalo generasi mendatang mempunyai hak atas BBM?

  15. Bagus sekali tulisannya, andaikan aja hal2 ini dibaca, dipahami, dan dilaksanakan di tahun-tahun yang kemarin, pastilah gak akan terjadi seperti ini. Hal yg terjadi sekarang ini, sy yakin akibat dari kekeliruan kita dahulu. Tapi, nasi udah jadi bubur, ya kita ambil aja hikmahnya. Tapi yg saya khawatirkan, apakah Tuhan sudah tidak lagi menghiraukan bangsa dan negara kita ini??? Saya khawatir Tuhan sudah punya rencana sendiri, dan ternyata bangsa ini tidak diikutsertakan dalam rencana-Nya. Ada yg bisa merasakan ataupun menjawab kekhawatiran ini????!!!!

  16. tulisan yg bagus,saya pun setuju.namun seberapa besar kepercayaan qta terhadap pemerintah dalam hal mengemban amanat rakyat.dapatkah mereka dipercaya?cause im not sure ^^

  17. Ya saya juga sepertinya tidak masalah jika BBM dinaikkan karena dinaikkan pasti punya alasan jelas, bukan sembarang. Lagi pula tidak mungkin pemerintah menaikkan tanpa pertimbangan. Hanya saja masih banyak pemikiran yang belum bisa sepaham serta belum memikirkan ke depannya seperti apa. Tetapi semoga saja tidak memberikan dan menambah masalah lagi.

  18. Sepakat banget sm tulisan ini.Penggunaan BBM meningkat drastis akibat semakin banyaknya pengguna sepeda motor n mobil pribadi.Klo mereka punya duit untuk beli mobil n motor,masa kan ga punya duit buat beli Bahan Bakar-nya???

  19. Wow ditulis dengan cerdas, luas, understandable, dan hati hati. Semoga saja Pemerintah benar benar sedang memikirkan dan mengambil tindakan logis yang dapat dirasakan masyarakat secara luas atas keputusan yang mendasari kenaikan BBM ini, memang tujuannya untuk kebaikan masyarakat juga. Tapi kalau hanya wacana yah wasalam, rakyat juga capek dengan wacana dan janji janji palsu, jalan tetap rusak, pendidikan tetap terbengkalai, rakyat miskin tetap menderita.

  20. dari dulu, tiap mau naikkan harga BBM kan alasanya selalu lebih baik subsidi kita alihkan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan tetek bengek. namun kenyataannya, masih banyak jalan dan infrastruktur lainnya yang gak terurus dan gak bisa digunakan selama puluhan tahun baik itu yang dekat dengan mata penguasa seperti di P Jawa, atau yang agak jauh seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT, apalagi yang nun jauh di mato Papua. lalu apakah iya, subsidi yang dialihkan itu untuk perbaikan yang dijanjikan? atau hanya dikorupsi oleh kroni penguasa? jangan terlampau percaya dengan argumen yang dibangun pemerintah untuk menghalalkan kenaikan harga BBM.

    1. Saya tidak pernah percaya 100% kepada pemerintah. Kita harus selalu bersikap skeptis dan kritis kepada pemerintah, karena kekuasaan itu selalu bersifat korup.

  21. It’s glad to found someone who have the same thought like I do… yet you give broader view… sangat disayangkan memang, jika publik hanya men-judge keputusan pemerintah ini dari ‘surface’.

  22. pemikiran yang sama. kita jangan hanya melihati masalah hanya satu sisi saja. apalagi sebagai orang yang berpendidikan dan tahu ilmu, harusnya mengutarakan suatu keinginan bukan dengan kekuatan.

Thank you for reading. I'd love to hear from you.